Maluku Tak Mengalami Darurat Ekonomi dan Pangan

by -2 views

 

Ambon, Pena-Rakyat.com – Pernyataan Dr. Julius Latumaerissa salah seorang akademisi dan ekonomi di akun tiktok beberapa hari lalu, dengan judul : ”Maluku Darurat Ekonomi dan Darurat Pangan”, dengan berbagai angka statistik sebagai sebuah komparasi dengan realitas kondisi ekonomi dan pangan di Provinsi Maluku, dimana menurutnya pertumbuhan ekonomi Maluku tidak sebanding dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Hal ini direspons oleh Dr. M. Jen Latuconsina, S.IP, MA akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pattimura (Fisipol-Unpatti).

”Kondisi rill menunjukan Provinsi Maluku saat ini tidak mengalami darurat ekonomi, dimana ekonomi kita sedang baik-baik saja. Tidak ada masalah krusial keuangan di daerah ini, yang mendesak dan membutuhkan tindakan cepat untuk mengatasinya, dengan beragam problem yang dihadapi seperti : inflasi tinggi, resesi atau krisis keuangan yang menyebabkan kerugian besar bagi warga masyarakat, bisnis dan negara di level lokal di Maluku,” Demikian pendapat Latuconsina pada Kamis (12/06/2025) di Ambon.

Menurutnya terdapat upaya untuk mejaga tingkat inflasi di Provinsi Maluku, namun itu tidak bisa dikategorikan sebagai suatu darurat ekonomi. Menghadapinya baik itu Pemerintah Provinsi Maluku dan Pemerintah 11 Kabupaten/Kota bersama stakeholder terkait, membuat dan mengimplementasikan kebijakan untuk mengantisipasi terjadinya inflasi. Salah satunya dengan menggelar Gerakan Pasar Murah (GPM), yang menjadi salah satu instrumen Pemerintah untuk menjaga stabilitas pasokan, dan harga pangan dalam rangka mengendalikan inflasi khususnya inflasi pangan.

Begitu juga realitas menunjukan Provinsi Maluku saat ini tidak mengalami darurat pangan, dimana pangan kita sedang baik-baik saja. Tidak ada kelaparan yang masif menimpa 11 kabupaten/kota di Maluku. Oleh karena itu, jika terjadi darurat pangan di Provinsi Maluku, berarti kondisi di mana pasokan pangan sangat terbatas, dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Faktanya distribusi pangan di Provinsi Maluku berjalan dengan baik. Sehingga terpenuhi pangan kepada warga masyarakat.

”Kalau darurat pangan dikarenakan pangan yang benar-benar langka. Penyebabnya bencana alam, perubahan iklim. Sehingga tidak adanya produksi pangan. Begitu pula terjadi konflik, akibatnya penyaluran pangan tidak dapat berjalan dengan baik, serta problem dalam distribusi pangan. Dampaknya pangan tidak tersalurkan dengan baik.” Oleh karena itu, di Provinsi Maluku saat ini tidak sedang mengalami darurat pangan,” papar Doktor Administrasi Publik jebolan Universitas Negeri Makassar (UNM) ini.

Ketidakdaruratan pangan di Maluku tersebut, dibutikan melalui laporan Badan Pusat Statistik (BPS)Provinsi Maluku pada tahun 2023, dimana luas panen Padi tercatat 22.640 hektar dengan produksi padi 79.960 ton Gabah Kering Giling (GKG) meningkat 6,21% pada tahun 2024 dengan luas panen tercatat 24.040 hektar dengan produksi padi naik menjadi 89.240 ton GKG. Pada tahun 2025 ini diprediksikan luas panen Padi dengan produksinya akan meningkat pula.

Dikatakannya, pendapat Latumaerissa menyangkut dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak sebanding dengan kemiskinan dan pengangguran, tentu perlu dilihat dalam perspektif setahun kerja daripada Pemerintah Provinsi Maluku, untuk melakukan penilaiannya. Pasalnya masih terlalu dini untuk menilai pertumbuhan ekonomi yang tidak sebanding dengan kemiskinan dan pengangguran. Sementara Pemerintah Maluku saat ini baru 100 hari kerja terhitung sejak 30 Mei 2025 lalu, setelah mereka dilantik oleh Presiden Parbowo Subianto pada 20 Februari 2025 lalu.

”Tentu masih terlalu dini, untuk Lautumaerissa menilai pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku yang tidak sebanding dengan kemiskinan dan pengangguran warga masyarakat di daerah ini. Sementara Pemerintahan Maluku saat ini baru 100 hari kerja terhitung sejak 30 Mei 2025 lalu, setelah mereka dilantik oleh Presiden Parbowo Subianto pada 20 Februari 2025 lalu. Akan lebih baik penilaian itu dilakukan tatkala setahun kerja daripada Pemerintah Maluku saat ini,” ujar Latuconsina.

Lebih jauh kata Latuconsina, paradigma pembangunan di level nasional dan daerah saat ini, tidak lagi menggunakan teori trickle down effect (efek menetes ke bawah), seperti yang dikemukakan oleh Latumaerisa menyangkut korelasi pertumbuhan ekonomi Maluku dengan trickle down effect. Ini merupakan konsep lama di era Pemerintahan Orde Baru, yang diperkenalkan oleh Widjojo Nitisastro, dikenal dengan Widjojonomics, yang diimplementasikan Pemerintahan Presiden Soeharto dalam rangka mengakselerasi pembangunan nasional melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Secara saksama kita melihat, substansi dari trickle down effect yakni, konsep ekonomi yang menyatakan bahwa keuntungan yang diberikan kepada orang kaya dan bisnis (seperti pemotongan pajak atau deregulasi) akan “menetes ke bawah” dan akhirnya menguntungkan seluruh masyarakat. Saat ini paradigma pembangunan di level nasional dan daerah, telah mengalami pergeseran dimana mengarah kepada pemanfaatan sumber daya oleh Negara, yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat, yang lebih dikenal dengan Prabowonomics.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.