Abolisi dan Amnesti di tengah demokrasi

by -0 views

Ambon, Pena-Rakyat.com – Baru-baru ini ruang publik Indonesia kembali ramai membicarakan langkah Presiden terkait pemberian amnesti dan abolisi atas sejumlah kasus yang dinilai kontroversial. Di tengah desakan penegakan hukum yang tegas dan adil, keputusan ini justru memunculkan pertanyaan besar: untuk siapa hukum ditegakkan?

Di satu sisi, negara memiliki kewenangan untuk memberikan pengampunan demi kepentingan nasional. Namun di sisi lain, publik menuntut kepastian bahwa hukum tidak digunakan secara selektif atau berdasarkan kepentingan politik jangka pendek. Keputusan yang seharusnya menjadi solusi hukum justru berpotensi membuka luka lama: ketidakpercayaan masyarakat terhadap keadilan yang merata.

Langkah ini juga terjadi dalam momentum yang tidak netral menjelang tahun politik dan perubahan konstelasi kekuasaan, Situasi ini membuat banyak pihak khawatir bahwa kebijakan hukum sedang dibawa menuju arah yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, di mana hukum semestinya menjadi pelindung hak warga negara, bukan instrumen politik.

Dalam konteks hukum tata negara, Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, Amnesti dapat menghapus akibat hukum dari tindak pidana tertentu, sementara abolisi menghentikan proses hukum terhadap perkara yang belum memperoleh putusan.

Namun, dalam sistem hukum modern yang menjunjung tinggi kepastian hukum dan kesetaraan di hadapan hukum, kebijakan seperti ini memerlukan penilaian ketat. Terlebih, jika menyentuh kasus-kasus yang berdampak langsung terhadap kepentingan publik, maka kehati-hatian harus menjadi prinsip utama agar tidak mencederai kepercayaan terhadap sistem hukum.

Secara normatif, seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Namun, dalam praktiknya, kebijakan pengampunan atau penghentian perkara terhadap individu tertentu, terutama yang memiliki afiliasi dengan kekuasaan atau elite politik, seringkali menimbulkan persepsi ketimpangan.

Keadilan tidak hanya diukur dari legalitas, tetapi juga dari rasa keadilan publik. Apabila kebijakan abolisi atau amnesti hanya menyentuh kalangan tertentu, sementara rakyat kecil tetap menjalani proses hukum secara penuh, maka keadilan menjadi tumpul dan selektif.

Dalam ranah etika pemerintahan, keputusan seperti amnesti dan abolisi tidak hanya perlu benar secara hukum, tetapi juga harus benar secara moral. Dalam negara yang mengedepankan integritas institusi, keputusan hukum yang menyangkut kepentingan publik seharusnya tidak diambil secara tertutup atau transaksional.

Etika publik mengharuskan pemerintah menjelaskan dasar, tujuan, dan dampak dari setiap kebijakan yang bisa memengaruhi sistem peradilan dan kepercayaan rakyat. Ketika prosesnya dianggap tidak jujur atau bermotif politik, maka bukan hanya hukum yang diragukan, tetapi juga integritas kepemimpinan nasional.

Secara politis, kebijakan abolisi dan amnesti kerap digunakan sebagai alat rekonsiliasi nasional atau stabilisasi politik. Namun demikian, jika digunakan untuk menyelamatkan kepentingan elite atau mengamankan jaringan kekuasaan, kebijakan ini bisa menjadi bentuk penyimpangan dari prinsip negara hukum yang demokratis.

Dalam konteks demokrasi, hukum seharusnya tidak berada di bawah tekanan politik, melainkan berdiri independen sebagai alat perlindungan hak warga negara. Ketika politik mengambil alih kontrol terhadap hukum, maka hukum kehilangan fungsinya sebagai penjamin keadilan dan transparansi.

Demokrasi sejatinya mengedepankan prinsip akuntabilitas, keterbukaan, dan partisipasi rakyat. Dalam sistem demokratis, pengambilan keputusan strategis seperti pemberian abolisi dan amnesti semestinya dilakukan secara terbuka, dapat diawasi, dan melibatkan mekanisme checks and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif.

Jika rakyat tidak diberi ruang untuk mengetahui atau menilai alasan di balik kebijakan tersebut, maka demokrasi kehilangan maknanya. Demokrasi bukan sekadar prosedur pemilu, tetapi mencakup hak rakyat untuk mengetahui, mengkritisi, dan menilai kebijakan negara, terutama yang menyangkut keadilan hukum.

 

Rafik Dasuki

    (Mahasiswa Fakultas hukum UNPATTI) 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.