Problematika penyelesaian sengketa tambang di Raja Ampat melalui hukum adat

by -1 views

Papua Barat, Pena-Rakyat.com – Senin (17/06/2025) Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam luar biasa, terutama di bagian timur Indonesia. Tepatnya Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Wilayah ini tidak hanya terkenal sebagai surga wisata bahari global, tetapi juga menarik perhatian kepentingan di sektor ekstraktif seperti tambang.

Saat eksplorasi dan eksploitasi tambang dijalankan pada kawasan-kawasan adat dan area konservasi Raja Ampat, timbul ketegangan antara kebutuhan pengembangan ekonomi nasional dan hak-hak masyarakat adat terhadap tanah dan lingkungan mereka. Eksesnya, lahir konflik pertambangan yang sangat kompleks, melibatkan aspek hukum, sosial, budaya, dan ekologi.

Saat terjadinya konflik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil
Lahadalia merekomendasikan penyelesaian sengketa dengan pendekatan hukum adat. Rekomendasi Bahlil dapat dipahami sebagai pengakuan negara terhadap keberadaan dan
kekuatan hukum adat yang selama ini terabaikan dalam sistem hukum nasional. Namun, di sisi lainnya, pernyataan itu juga menimbulkan pertanyaan penting, apakah negara benar-benar mengakui peran masyarakat adat secara nyata ? Atau justru sedang mengalihkan tanggung jawab penyelesaian konflik yang seharusnya menjadi wewenang negara? Penting untuk dicatat bahwa konflik tambang tidak hanya berkaitan dengan perselisihan horizontal antara warga atau antara perusahaan dengan komunitas setempat. Tetapi juga melibatkan kebijakan publik, proses perizinan, dan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi ekosistem serta memastikan keadilan sosial.

Penyelesaian konflik melalui hukum adat tanpa dukungan kerangka hukum negara yang kuat dan terpercaya dapat menciptakan ruang untuk ketidakpastian hukum, manipulasi adat, dan ketidakadilan yang lebih mendalam. Keinginan penyelesaian konflik tambang di Raja Ampat dengan hukum adat, sebagaimana diungkapkan Menteri ESDM, menunjukkan kecenderungan negara untuk mendelagasikan tanggung jawab penyelesaian permasalahan kepada masyarakat adat tanpa memperkuat peranan perlindungan negara secara signifikan.

Dalam konteks ketidak seimbangan hubungan antara komunitas adat dan perusahaan tambang, penyerahan penyelesaian kepada hukum adat secara sepihak berpotensi menjadi bentuk pemindahan tanggung jawab negara atas konflik struktural yang berasal dari kebijakan perizinan yang lemah. Masyarakat adat yang sering kali berada dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang lemah, tidak memiliki kapasitas hukum dan kelembagaan yang cukup untuk menghadapi perusahaan yang didukung oleh modal besar dan jaringan kekuatan. Akibatnya, penyelesaian yang berlandaskan hukum adat bisa menjadi tempat kompromi yang terpaksa, bukan ruang keadilan yang sesungguhnya.

Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum negara dan konstitusi yang mengharuskan negara berperan aktif dalam melindungi hak-hak masyarakat hukum adat serta memastikan keadilan ekologis. Sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 secara tegas menyatakan bahwa hutan adat bukan milik negara, melainkan milik masyarakat adat. Tapi pengakuan itu harus disertai dengan tindakan nyata dari negara dan berbagai pendapat para ahli seperti James Anaya yang mengatakan pengakuan terhadap hukum adat harus disertai dengan dukungan institusional dari negara. Artinya, menyediakan konflik tambang kepada masyarakat adat tanpa adanya dukungan struktural bukan sekadar bentuk pengabaian tanggung jawab pemerintah, melainkan juga memperburuk ketidakadilan yang telah lama ada dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Penyelesaian sengketa pertambangan melalui hukum adat memiliki risiko besar, khususnya menimbulkan pecahnya keadilan di kalangan komunitas masyarakat adat. Hukum adat cenderung spesifik dan bervariasi antara suku atau daerah yang berbeda, sehingga pendekatan ini rentan menimbulkan standar ganda dalam pengeluaran izin atau pengakuan terhadap klaim wilayah adat. Dalam keadaan seperti ini, kelompok-kelompok tertentu,
khususnya elit adat atau pemimpin yang dekat dengan investor, sering kali menguasai proses pengambilan keputusan, dengan mengabaikan suara komunitas yang lebih luas.

Situasi ini diperburuk oleh minimnya mekanisme checks and balances internal dalam sistem adat yang dapat mengakibatkan kooptasi dan manipulasi legitimasi adat untuk keuntungan jangka pendek. Perusahaan tambang kerap memanfaatkan dinamika internal itu untuk meraih legitimasi sosial, meskipun substansi keadilan ekologis dan sosial justru terpinggirkan.

Sebagai akibatnya, hukum adat yang seharusnya berfungsi sebagai sarana perlindungan bagi komunitas dapat bertransformasi menjadi alat untuk melegalkan eksploitasi. Oleh karena itu, tanpa perhatian dan dukungan dari sistem hukum nasional, pendekatan hukum adat dalam sengketa pertambangan itu berpotensi menghadirkan ketidaksetaraan baru dan memperburuk masalah struktural dalam komunitas adat yang telah lama terpinggirkan. Maka dengan itu keinginan Menteri ESDM untuk menyelesaikan sengketa pertambangan di Raja Ampat melalui hukum adat tanpa adanya pengawasan negara berpotensi mengesampingkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam pengelolaan lingkungan yang berisiko tinggi. Raja Ampat adalah wilayah strategis dengan status ekologis internasional, memiliki keragaman hayati laut tertinggi di dunia.

Setiap jenis kegiatan ekstraktif di daerah ini harus direspons dengan standar perlindungan lingkungan yang ketat, berdasarkan penelitian ilmiah serta hukum lingkungan nasional dan internasional. Apabila hukum adat diterapkan tanpa dukungan penelitian dan keterlibatan negara dalam menentukan batasan eksploitasi serta pengawasan yang independen, maka ada kemungkinan keputusan yang diambil menjadi kompromistis, transaksional, atau tidak didasarkan pada prinsip keberlanjutan.

Dalam waktu panjang, hal ini dapat mengakibatkan kerusakan ekologis yang tidak bisa diperbaiki (irreversible damage), serta merugikan komunitas adat yang sangat bergantung pada kelangsungan alam sebagai sumber kehidupan dan identitas budaya mereka. Prinsip kehati-hatian menuntut agar negara terlibat secara aktif dan bertanggung jawab. Bukan malah menarik diri dan menyerahkan keseluruhan penyelesaian kepada mekanisme adat yang belum memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengatasi kompleksitas konflik tambang berskala besar.

Hemat penulis, penyelesaian konflik tambang di Raja Ampat tidak bisa hanya dipahami dalam konteks hukum adat semata. Dibutuhkan hibriditas hukum yang kokoh antara hukum negara dan hukum adat, dengan negara tetap berperan utama dalam penegakan hukum, perlindungan HAM, dan pemantauan lingkungan. Dengan hanya mendorong hukum adat tanpa dukungan institusional adalah bentuk pengunduran negara dari tanggung jawab konstitusionalnya yang tentu saja dapat merujuk pada ekses multiplayer effect negatif.

 

Oleh : Achmad F. Hehanussa

Mahasiswa Magister Hukum

Universitas Indonesia