Ambon, Pena-Rakyat.com – Indonesia boleh gelap tapi perempuan adalah cahaya yang tidak akan padam
Puluhan perempuan yang tergabung dari unsur Korps HMI-Wati (Kohati) Komisariat Polnam, Kohati Komisariat Ekonomi dan Bisnis Unpatti, Bidang Pemberdayaan Perempuan HMI Komisariat Saintek Unpatti dan Kohati Komisariat Isip Unpatti, melakukan Aksi Bisu memperingati International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional di Bundaran Poka, Kota Ambon (10/3/2025).
Koordinator Lapangan Zahwa Kalderak, mengatakan bahwa aksi yang dilakukan merupakan bentuk protes yang sangat bermakna karena menggambarkan bagaimana suara perempuan sering kali diabaikan, baik dalam hukum, kebijakan, maupun kehidupan sosial sehari-hari. Dengan memilih aksi bisu, para peserta aksi menunjukkan bahwa meskipun mereka tidak berbicara, tetapi ketidakadilan yang mereka alami tetap harus didengar.
Beberapa Point yang Ingin Disampaikan
Ketidakadilan Masih Merajalela
Kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat tanpa keadilan bagi korban, kerentanan Pekerja Rumah Tangga (PRT), masalah krisis Iklim, undang-undang terkait masyarakat adat, bullying atau perundungan yang dialami perempuan. Masih banyaknya diskriminasi gender dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dunia kerja, pendidikan, dan kebijakan publik.
Menuntut Perubahan Nyata
Mendorong implementasi yang lebih tegas terhadap UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Mendorong pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
Meminta akses yang lebih baik terhadap keadilan dan layanan bagi korban kekerasan seksual dan KDRT.
Menuntut kesetaraan gender dalam ruang publik dan kebijakan pemerintah.
Memperjuangkan kebebasan berekspresi dan hak perempuan untuk bersuara tanpa takut dikriminalisasi atau dikucilkan.
Menggunakan Simbolisme
Massa aksi menggunakan pakaian hitam sebagai simbol duka atas ketidakadilan yang dialami perempuan. Dan masker di mulut untuk menggambarkan bagaimana suara perempuan sering dibungkam.
Poster dan tulisan berisi deskripsi tentang hak-hak perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Peringatan Hari Perempuan internasional yang dilaksanakan ini, bisa menjadi momentum untuk mengingatkan masyarakat bahwa perjuangan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan masih jauh dari selesai.
International Women’s Day dirayakan setiap tanggal 8 Maret. Bertujuan untuk memperingati pencapaian sosial, ekonomi, budaya, politik, dan perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan gender dan hak-hak perempuan di seluruh dunia.
Dalam sejarahnya, peringatan International Women’s Day bermula dari perjuangan melawan penindasan terhadap kaum perempuan yang terjadi hingga awal abad ke-20. Pada tahun 1908, perempuan semakin aktif menyuarakan ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang mereka alami melalui berbagai kampanye.
Gerakan ini semakin mendapat perhatian ketika sekitar 15.000 perempuan di New York, Amerika Serikat, melakukan aksi demonstrasi menuntut hak-hak mereka, termasuk upah yang lebih baik, jam kerja yang lebih manusiawi, dan hak untuk memilih dalam pemilu.
Setahun kemudian, pada 1909, Hari Perempuan Internasional pertama kali dirayakan di seluruh Amerika Serikat. Pada tahun-tahun berikutnya, Kopenhagen, Denmark, menjadi tuan rumah konferensi internasional bagi pekerja perempuan.
Dalam konferensi tersebut, Clara Zetkin, pemimpin Women’s Office dari Partai Sosial Demokrat di Jerman, mengusulkan ide untuk menetapkan Hari Perempuan Internasional.
Pada tahun 1911, peringatan ini pertama kali dihormati di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss pada tanggal 19 Maret. Sementara itu, antara tahun 1913 dan 1914, perempuan di Rusia merayakan Hari Perempuan pertama mereka pada 23 Februari.
Hingga akhirnya diputuskan bahwa tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional yang diterima secara global. PBB secara resmi memperingati hari ini untuk pertama kalinya pada tahun 1975. (hasbi)